Jadi TELADAN #2: Hoaks dan Fake News

Kemudahan terhadap akses internet dan media sosial memberikan kita beragam informasi daripada sebelumnya, perlu diingat bahwa hal ini seiring dengan banyaknya fake news dan hoaks yang mengancam.
Meskipun generasi muda milenial adalah digital native, tidak menutup kemungkinan mereka sama rentannya terpapar informasi yang tidak benar tersebut.
Pada episode kedua Jadi TELADAN kali ini, pembawa acara, Robinson Sinurat, turut mengundang Direktur Utama kantor berita Antara, Meidyatama Suryodiningrat, atau biasa yang dipanggil dengan Dimas, dan Kasyfil Warits, Corporate Communication Manager PT Bank Mandiri, Tbk., untuk menggali lebih dalam tentang literasi digital (digital literacy) dan bagaimana caranya kaum muda memerangi peredaran hoaks.
Jadi TELADAN merupakan program bincang-bincang santai yang membahas berbagai topik mengenai generasi muda Indonesia. Program ini diselenggarakan oleh Tanoto Foundation, organisasi filantropi keluarga independen yang didirikan oleh Sukanto Tanoto dan Tinah Bingei Tanoto pada tahun 1981.
Dalam episode kali ini akan dibahas:
a. Apa definisi dari fake news?
b. Mengapa generasi milenial seringkali terjebak dalam misinformasi?
c. Seberapa besar dampak yang diberikan bagi generasi muda?
d. Bagaimana cara kita mengatasi berita yang cenderung menyesatkan?
Ancaman Nyata Hoaks dan Fake News
Mengapa kesadaran akan ancaman paparan fake news sangat penting. Para narasumber kami setuju bahwa masyarakat perlu memiliki literasi digital yang lebih baik, namun Dimas mengatakan masih banyak anak muda Indonesia yang belum memiliki literasi digital yang baik sehingga mereka rentan terhadap hoaks dan fake news.
Jadi, apa yang bisa kita lakukan? Narasumber kami memberikan rekomendasi sebagai berikut ini:
Memproses Informasi Sejenak
Godaan untuk segera berbagi konten menarik di media sosial memang menggiurkan. Oleh karena itu, Kasyfil mengatakan kita perlu untuk terlebih dahulu untuk mengolah informasi tersebut secara matang.
Ia mengatakan bahwa cara terbaik untuk mencegah diri kita mudah percaya atau menyebarkan fake news adalah dengan berhenti sejenak dan membacanya secara seksama untuk memastikan bahwa isi dari konten tersebut merupakan berita faktual.
Lebih Berhati-hati Melakukan Aktivitas Daring
Dimas mengajak generasi milenial untuk lebih berhati-hati saat melakukan aktivitas daring.
“Anda mungkin tidak peduli dengan kearifan bangsa ini, terhadap kondisi politik maupun sosial bangsa ini, itu terserah Anda,” katanya, “Tapi ingat, bahwa semua yang Anda lakukan, berbagi, […] membuat hoaks, dan lainnya, akan terekam secara digital. Dan saat Anda akan berkarier jejak itu tidak akan hilang.”
“Saya hanya akan mengatakan satu hal: jangan bodoh. Berpikir baik-baik. Kalian semua adalah orang-orang terpelajar, bertindaklah seperti orang terpelajar,” imbuh Dimas.
Saksikan Ep. 2 Jadi TELADAN – Jadi Generasi Anti Hoax di YouTube Channel Tanoto Foundation!
Transkrip Video
Hi, T-Friends! Kembali lagi bersama saya dalam program Jadi TELADAN.
Topik kita pada hari ini adalah Jadi Generasi Muda Anti Hoax.
Kali ini kita kedatangan dua tamu istimewa. Tamu yang pertama itu adalah Mas Meidyatama Suryodiningrat yang biasa kita sapa sebagai Mas Dimas, yang saat ini menjabat sebagai Direktur Utama kantor berita Antara.
Terima kasih atas kehadirannya, Mas Dimas. Dan selamat datang di Tanoto Foundation Center.
Terima kasih, senang sekali bisa hadir.
Dan yang kedua adalah Mas Kasyfil. Saat ini Mas Kasyfil sedang bekerja di PT Bank Mandiri, Tbk, sebagai Corporate Communications Manager.
Terima kasih atas waktunya, Mas Kasyfil dan selamat datang di Tanoto Foundation Center.
Thank you, Mas Robin. Senang bisa hadir lagi di Tanoto.
Langsung saja, saya mau bertanya nih sama Mas Dimas. Mas Dimas, berdasarkan pengalaman Mas Dimas di dunia jurnalis(me), seperti apa sih kondisi literasi digital di kalangan generasi muda saat ini?
Kondisi literasi media di Indonesia saat ini praktis hampir sama dengan kondisi literasi media di seluruh dunia.
Ini tidak saja problem di Indonesia, mungkin ini problem suatu generasi yang mencakup seluruh belahan dunia.
Sebagai satu contoh, kita sekarang berbicara tentang keadaan yang kita alami saat ini. British medical journal yang diterbitkan oleh British Medical Association, seperti IDI-nya Inggris, dalam studinya menemukan—dan baru diterbitkan tiga hari yang lalu—bahwa terkait dengan vaksin, 60 persen lebih konten di YouTube cenderung negatif.
60 persen lebih. Ini dari British Medical Journal, baru tiga hari yang lalu.
Itu juga ditemukan bahwa cenderung mereka yang mendapatkan berita atau informasi hanya dari sosial media sebagai sumber utama adalah mereka yang cenderung menolak untuk divaksinasi.
Jadi bukan persoalan kecepatan jari dengan kecepatan otak, tapi kadang menurut saya bahwa literasi itu rendah mungkin juga karena kultur dan budaya kita belum sampai ke arah itu.
Jadi kalau dibilang rendah sebenarnya tidak mengejutkan. Pertanyaannya adalah kemudian tugas siapa untuk meningkatkan dan memperbaiki literasi media ini?
Kemudian, sebenarnya apa sih Mas Dimas, hoax itu apa sih? Dan apakah ada tingkatan hoax ini?
Fake news itu bukan news. Fake adalah palsu, palsu ya palsu. News adalah news. Hoax tidak lebih adalah suatu informasi yang bohong atau palsu.
Tapi juga ada bedanya. Ada yang disebut dengan misinformasi. Misinformasi adalah Anda salah menyebut bahwa usia saya masih 22 (tahun) padahal sudah 50 lebih. Tapi Anda tidak punya niat jahat, tidak ada niat yang jelek. Hanya salah menyebut. Salah mengetik angka. Itu terjadi setiap hari.
Kemudian ada yang namanya disinformasi atau malinformasi yang sengaja dibuat dengan suatu niatan tertentu.
Setiap orang, kamu, Anda, bisa memberikan informasi yang salah secara tidak sengaja. Memberikan alamat yang salah. Saya bisa menyebut namamu salah, tapi tidak sengaja.
Misinformasi, disinformasi yang kemudian kategorinya hoax itu adalah sengaja dibuat untuk menipu dengan tujuan-tujuan tertentu. Jadi harus sangat paham itu.
Kalau sebuah media yang resmi, media yang terakreditasi, membuat kesalahan berita, itu namanya beritanya salah. Tidak sengaja. Tinggal dikoreksi. Kalau hoax itu sengaja salah untuk menipu seseorang.
Ada yang bilang kalau generasi millennials dinilai paling rentan terkena hoax. Gimana menurut pendapat Mas Kasyfil tentang ini?
Ini sebenarnya menarik ya. Kalau dari sudut pandang aku yang memang juga sering dibilang bahwa millennial itu memang sekarang paling banyak menyebarkan informasi bohong, informasi palsu.
Mungkin kalau dilihat by nature, sosial media sekarang kan pengguna atau populasi yang paling banyak menggunakan adalah millennials
Jadi bagaimana pun kita juga bertanggung jawab sebagai millennials. Karena kita penggunanya. Nah, hoax sering terjadinya di sosial media dan persenannya akan lebih tinggi di sosial media dari pada di platform chat, terutama berita-berita yang konvensional itu kan sudah melalui berbagai tahap verifikasi dan sudah dicek.
Nah, kalau di sosial media ini menarik. Dan kenapa makanya millennial sering disebut bahwa ‘ oh, ini pembawa berita hoax, nih’, ya karena kita banyak sekali yang populasinya di sosial media.
Dan menariknya lagi kalau di Indonesia, aku memang literasi untuk anak mudanya sendiri itu sekarang banyaknya ikut-ikutan.
Oke
Artinya, dari segi literasi mungkin kita belum terlalu berkembang budaya di Indonesia untuk cek informasi terlebih dahulu
Atau misalnya, kalau misalnya kita dapat informasi, kaya ‘bener engga sih ini informasinya?’. Nah, itu millennials kadang tidak melakukan itu karena ikut-ikutan. Nah, hoax kan memang kalau kita lihat ya informasinya tersebar di sosial media. Kita sebagai millennials ada tendensi untuk ‘ah, langsung share ah. Ah, langsung baca. Ih, gila ya’. Percaya gitu ya. Nah, itu mungkin makanya disebut kenapa sih millennials itu sangat rentan dengan hoax.
Nah, kembali lagi nih ke Mas Dimas. Tadi Mas Dimas menjelaskan tentang misinformasi dan disinformasi. Kira-kira apa sih nih Mas penyebab terjadinya kedua hal tesebut?
Mirip apa yang disampaikan di awal, sebenarnya bukan problem generasi. Menjadi problem generasi karena setiap apa yang disampaikan mungkin jumlah mereka yang disebut dengan millennials secara penduduk lebih banyak
Lebih banyak
Tapi dari segi frekuensi itu lebih banyak lagi, ya. Tapi yang menjadi masalah di sini adalah kultur dan budaya. Karena apa yang disebut dengan kebebasan. Orang sering merasa, ‘oh ini hak saya’. Orang merasa ‘oh ya, saya bebas mengkritik’. Iya, itu adalah hak Anda dan kita hidup dalam alam demokrasi.
Tapi yang terjadi di sosial media—di online—adalah hinaan yang dibungkus dalam kritik dengan suatu lafal intelektualitas yang diselubung oleh anonimitas.
Wow, berat ya
Anonimitas ini yang kemudian menjadi masalah.
Saya yakin, 90 persen apa yang diucapkan, disampaikan, di-share, dinarasikan di online saat kita duduk seperti ini, berhadapan, mereka tidak akan berani mengucapkannya.
Anonimitas ini, kemudian orang menjadi sembarangan. Seolah-olah ‘wah, bebas. Saya bisa mengatakan apa saja.’ Apakah Anda berani mengatakan itu di depan muka orang tersebut? Sering kali tidak.
Seolah-olah kita lupa kultur toto kromo kita, tata laksana, tata cara dan sebagainya saat di online itu. Nah, hal yang sama kemudian terjadi pada berita yang palsu, hoax dan sebagainya.
Nah, tambahan mungkin dari Mas Kasyfil, penyebabnya kira-kira apa nih?
Benar. Tapi setuju banget dengan Mas Dimas, ya. Bahwa sebenarnya yang namanya hoax itu lebih mudah untuk dipercaya karena tadi, konten dan aksesnya itu memang sangat accessible dan ringan aja gitu. Meanwhile, saya pikir literasi yang paling mudah deh yang bisa millennials lakukan adalah usaha, effort gitu ya.
Ketika teman-teman dapat share-share-an di WhatsApp, atau misalnya ada berita tadi dengan meme-meme lucu di Twitter, padahal informasinya salah, kita akan tendesinya lebih percaya gitu. Padahal sebenarnya literasi yang paling mudah dari skala diri kita sendiri adalah dengan usaha deh ‘sebenarnya bener ga sih berita ini?’ untuk kita cari.
Jadi memang mungkin menariknya, ya. Untuk melakukan literasi itu kita juga harus pintar nih sebagai yang mengeluarkan informasi benar atau mau klarifikasi.
Bikin saja konten yang accessible buat temen-temen millennials.
Berdasarkan survei nih yang dilakukan oleh Kementarian Komunikasi nih, Mas Dimas, bahwa literasi digital di Indonesia belum sampai ke level baik. Nah, agar generasi muda tidak mudah bergerak cepat nih dengan jarinya, apa yang harus diketahui oleh kami, kaum muda, kaum millennials, untuk memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi hoax?
Kami itu kan antara lain dalam hal ini T-Friends, ya?
T-Friends, ya benar!
Tanoto Scholars, ya?
Tanoto Scholars dan teman-teman millennials, lah.
Ya. Kalau memang saya berhadapan dengan scholars, kata saya, saya akan mengatakan hanya satu hal: jangan bodoh. Berpikir.
Berpikir. Berpikir sebelum melakukan sesuatu?
Iya.
Gitu ya Mas Dimas, ya?
Anda orang terdidik, berperilaku lah seperti orang terdidik
Terdidik
Langsung nih kembali ke Mas Kasyfil. Boleh sharing engga sih, pengalaman Mas Kasyfil tentang bagaimana mengidentifikasi hoax ini?
Mungkin sekaligus sharing apa yang biasa kita lakukan
Boleh
Karena kebetulan saya bekerja di institusi finansial, di perbankan yang mana salah satu yang kita jual yang paling penting adalah kepercayaan nasabah. Gitu kan? Nah, kita tuh paling rentan juga nih untuk kena berbagai hoax.
Sebenarnya cara mengidentifikasinya adalah: yang pertama, ketika sumber itu keluar—misalnya kita dapat dari tim monitoring kita—ada di sosial media, ‘wah, ada informasi engga bener nih’ dan sebenarnya dari awal saja sudah kelihatan tuh, seperti yang dibilang Mas Dimas, sumbernya saja engga jelas.
Kalau misalnya ternyata itu mengaku sebagai berita, kadang beritanya pun kita kayak engga pernah dengar itu kantor berita apa, gitu ya? Nah, yang paling mudah dari kita sebagai teman-teman komunikasi adalah kalau misalnya itu melakukan tiering media.
Dengan melakukan tiering media kita bisa tahu ‘oh, sebenarnya ini adalah informasi yang dilakukan oleh oknum’. Artinya kita akan lebih mudah juga untuk nengedukasi nasabah kita bahwa ini adalah berita hoax, gitu.
Media sendiri bagaimana sih menghadapi hoax yang semakin merajalela ini, Mas Dimas?
Mungkin salah satu sebab utama kenapa semua ini terjadi, salah satunya adalah ekonomi digital dan digital content yang banyak sekali didorong oleh apa yang disebut dengan views, clickbaits, dan sebagainya.
Dorongan untuk komersialisasi, dorongan untuk menerbitkan atau meng-upload, atau men-share sesuatu yang kemudian banyak di—kalau diginiin itu apa deh?—di like.
Jempol. Like, like, share
Like, jempol, di-share, di-follow dan..
Subscribe
Iya
Saya berani bertaruh, Silahkan buka semua social media platform yang ada. Rata-rata yang paling banyak di-like, di-share, di-jempol, di-apa lagi, konten semacam apa sih? Nah itu.
Jadi pada akhirnya kembali kepada konsumen, kalau menurut saya, agar tidak terpancing oleh hal-hal yang disebut dengan click bait dan sebagainya.
Yang kedua adalah kita semua sudah memasuki suatu kultur di mana informasi tidak memiliki nilai, tidak ada lagi yang langganan koran, tidak ada lagi yang membayar paywall. Sesuatu yang murah, yang gratis, tidak akan memiliki nilai. Saat sesuatu tidak akan ada nilai, Anda kemudian tidak akan menganggap itu penting. Dan, persoalannya Anda selalu harus ingat, informasi yang kita konsumsi selalu terhubung dengan ikatan emosional kita.
Apa sih hal yang harus kita lakukan nih untuk kita terhindar dari fake news atau hoax, lah.
Sebagai millennials, ya?
Iya, boleh
Mewakili teman-teman T-Friends
Nanti ke Mas Dimas saya tanyakan lagi nih, lebih lagi
Baik, ya, itu sih, walaupun saya merasa millennials itu sekarang sukanya itu sesuatu yang instan, kita sukanya sesuatu yang cepat gitu. Tapi penting kayanya kita mengingat ketika kita menggunakan sosial media atau mengonsumsi sebuah informasi, kita mengambil waktu untuk memproses semuanya, gitu.
Karena dengan kita kayak berhenti sebentar, terus kita membaca dengan benar, memastikan, itu adalah cara yang paling ampuh sebenarnya untuk membasmi kita sendiri terkena atau kita menyebarkan informasi-informasi bohong.
Itu sih. Jadi, millennials itu kan sekarang kayak enggak pengen semua tuh lama, gitu ya, enggak pengen yang ribet. Tapi penting juga sebenarnya untuk punya waktu untuk memproses semuanya. Itu sih paling kuncinya, jadi kayak, jangan buru-buru.
Mas Dimas, apa nih wejangan dari Mas Dimas yang udah berpengalaman di dunia jurnalis(me), apa nih wejangan buat temen-temen T-Friends, kaum millennials, yang mendengarkan program kita ini?
Mungkin saya mengingatkan secara sederhana. Anda mungkin tidak peduli dengan kearifan bangsa ini, Anda tidak peduli terhadap kondisi politik maupun sosial bangsa ini, itu terserah Anda.
Tapi ingat, Anda harus peduli diri sendiri. Apa yang Anda lakukan, sharing, like—apa lagi—membuat konten yang hoax, dan sebagainya. Semua terekam secara digital. Dan saat Anda akan berkarier jejak itu tidak akan hilang.
Saya sebagai pemimpin sebuah perusahaan, ke depan pasti jejak digital itu sama dengan CV, akan dilihat.
Mas Kasyfil nih, mungkin ada pesan buat teman-teman millennials, untuk T-Friends pastinya.
Mungkin berat untuk diaplikasikan oleh millennials, tapi sebenarnya ini sebuah bekal yang penting untuk masa depan. Jangan kehilangan integritas hanya karena kita di masa muda kita spend time untuk hal-hal yang sia-sia. Seperti kayak share informasi yang ga benar dan lain-lain. Karena menurut aku sendiri, integritas ketika kita bekerja dengan orang lain itu penting banget untuk melihat betapa valuable-nya diri kita sebagai seorang manusia.
Terima kasih atas waktunya
Thank you, thank you
Dan kita T-Friends, banyak sekali belajar dari kedua bintang tamu kita yang luar biasa pada sore hari ini. Semoga T-Friends yang mendengarkan, yang menonton acara ini juga ingat untuk mengimplementasikan apa yang sudah kita pelajari pada sore hari ini. Dan sampai jumpa di Jadi Teladan berikutnya!
Where You Can Find Us:
In Bahasa Indonesia:
Website: https://www.tanotofoundation.org/id/
Instagram: https://www.instagram.com/tanotoeducation
Facebook: https://www.facebook.com/tanotofoundation
Twitter: https://twitter.com/tanotoeducation/
In English:
Website: https://www.tanotofoundation.org
LinkedIn: https://www.linkedin.com/company/tanoto-foundation/
Read about our founders here:
https://www.tanotofoundation.orgabout-us/founder-message/sukanto-tanoto/
http://www.sukantotanoto.net/
Tinggalkan Balasan