Selasa, 3 Agustus 2021

Dedikasi, Kerja Keras dan Fokus: Pesan bagi Calon Dokter

Sudah sewajarnya kita memperlakukan para dokter dengan rasa hormat. Kepada merekalah kita dapat berpaling untuk bertanya soal kesehatan, pengobatan, bahkan mereka juga bisa disebut dewa penyelamat.

Namun menjadi dokter juga berarti mengorbankan waktu —paling tidak 10 tahun— untuk menjalani sekolah kedokteran yang disambung program profesi dokter. Ini dilakukan sembari menyerap segala pelajaran, pengetahuan, dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan. Tak heran bila murid sekolah kedokteran ada kalanya merasa lelah atau meragukan diri sendiri, seperti yang sempat disinggung dalam acara “Meet and Greet: Sharing Knowledge & Journey to Become a Doctor”.

Diadakan oleh Perkumpulan Alumnus Tanoto Foundation (PANUTAN), acara daring ini berlangsung pada 31 Juli 2021 dan menghadirkan enam pembicara yang merupakan alumni Tanoto Foundation dari Indonesia dan Singapura. Mereka berbagi kisah tentang menempuh perjalanan hingga menjadi dokter. Tanoto Scholar Debora Widawati menjadi moderator sementara Tanoto Scholar Monica Agnes Sylvia menjadi pembawa acara.

Setelah diperkenalkan oleh CEO Global Tanoto Foundation Dr J. Satrijo Tanudjojo, dr. Ng Choon Ta selaku anggota Dewan Penasihat Tanoto Foundation membuka sesi dengan memberikan pidato. dr. Choon Ta juga dikenal sebagai Konsultan Departemen Kardiologi di National Heart Centre Singapore dan Asisten Profesor Klinis di Duke-NUS Medical School.

“Ilmu kedokteran merupakan panggilan hidup yang membutuhkan dedikasi dan kerja keras,” ujarnya. “Begitu kita lulus dari sekolah kedokteran, kita memulai perjalanan panjang untuk melayani pasien, sembari mewujudkan misi untuk memajukan ilmu kedokteran dengan menemukan pengobatan dan paradigma baru.”

Seluruh pembicara sepakat bahwa menjadi dokter berarti menempuh perjalanan panjang dan sulit, yang harus dibekali dengan panggilan jiwa, motivasi, fokus, komitmen, dan dedikasi. Masing-masing mengakui beratnya perjuangan untuk menemukan keseimbangan antara pekerjaan dan hidup. Beberapa juga menyarankan memiliki hobi sebagai minat di samping pekerjaan.

“Sekolah kedokteran bisa menguras seluruh kemampuan kita. Pelajaran yang harus ditekuni amat banyak dan kita dituntut untuk menguasainya dengan sangat cepat,” kata dr. Shannon Lee, alumnus Yong Loo LinSchool of Medicine di National University of Singapore pada tahun 2020. “Tapi setelah beberapa waktu saya dapati bahwa jangan takut tertinggal dari yang lain. Belajarlah sesuai kemampuan kita sendiri dan dengan percaya diri.”

Sesama alumnus tahun 2020 dr. Summer Zhang Linyi merasakan hal yang sama. “Saya tidak menyangka bahwa sebegitu sulitnya menjalani sekolah kedokteran, terlepas dari betapa kita sudah setengah mati belajar sebelumnya,” ujarnya. “Juga sangat sulit untuk menyeimbangkan berbagai aspek hidup kita dengan diri kita sendiri, ditambah keharusan menjadi dokter yang baik dan tuntutan masyarakat. Rasanya setiap hari kita bisa merasa tidak kompeten dan gagal sementara kita terus bekerja keras.” Namun pada akhirnya ia meyakinkan bahwa beradaptasi dan menemukan keseimbangan itu tidaklah mustahil.

dr. Surya Atmaja juga menekankan pentingnya mengelola waktu dengan bijak. Kemampuan ini, menurut dokter yang saat ini bekerja di sebuah RSUD di Jambi, ia dapatkan dari berbagai pelatihan soft skill yang diberikan oleh Tanoto Foundation. “Berkat pelatihan tersebut, saya bisa mengelola [waktu] dengan baik,” katanya.

Para pembicara mengakui peran penting Tanoto Foundation dalam perjalanan mereka menjadi dokter. Salah satunya melalui Project Sukacita, program layanan komunitas tahunan yang bertujuan meningkatkan taraf hidup di Pangkalan Kerinci, Riau. Dimulai oleh para Tanoto Scholars di Singapore Management University pada tahun 2012, program ini belakangan diikuti pula oleh para Scholars dari National University of Singapore dan Nanyang Technological University. Beberapa kegiatannya meliputi advokasi bagi anak-anak tentang gaya hidup sehat dan pemeriksaan kesehatan bagi anak-anak dan orang tuanya.

“[Proyek ini mengajarkan kami] untuk menganalisis kekuatan dan kelemahan setiap anggota, pentingnya memiliki rasa kepemimpinan yang efektif, serta kemampuan untuk bekerja dalam kelompok,” ungkap dr. Woo Shi Min, yang tengah menjalani program residensi kedokteran anak di National University Hospital, Singapura. “Pelajaran berharga ini semoga dapat menyiapkan kami bagi segala situasi di dunia kerja dan masa depan.”

Sebagai tenaga kesehatan yang paling terdampak oleh pandemi Covid-19, para dokter tersebut juga berbagi mengenai dampaknya bagi kehidupan masing-masing. dr. Anton Sony Wibowo, yang menjalani fellowship di Southern Tohoku General Hospital, Jepang, terpaksa meninggalkan negeri tersebut dan melanjutkan pendidikannya secara daring di Indonesia. dr. Summer bercerita ia harus berganti alat pelindung diri (APD) sampai 30 kali dalam satu hari ketika menangani pasien Covid. Ada pula kisah dari dr. Shannon mengenai kurangnya standar operasional dan APD, terutama di awal pandemi.

Saat ada pertanyaan tentang hal yang paling berharga dari profesi dokter, jawaban dari seluruh pembicara adalah saat kesehatan pasien tetap terjaga, terlebih saat mereka bisa menjadi bagian perjalanan pasien dalam mengalahkan penyakit. “Menjadi saksi pasien sembuh dan melihat senyum mereka adalah yang paling berharga,” ujar dr. Woo Shi Min.

dr. Marcherly Wardi, yang tengah menjalani program spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi di Universitas Indonesia, berbagi bahwa tujuan hidupnya menjadi dokter adalah untuk membantu orang lain. Sementara dr. Anton berpendapat bahwa karena profesi dokter tergolong unik berkat kemampuannya menjawab segala kebutuhan manusia. “Ada hal-hal etis dan budaya yang terlibat di situ, dan ini tidak ada di profesi lainnya,” ujarnya.

Bagi para calon dokter, dr. Ng Choon Ta memberi semangat melalui nasihatnya. “Percayalah bahwa Anda tidak sendirian dalam perjalanan ini. Karier sebagai dokter sewaktu-waktu bisa terasa berat, dan ada kalanya membuat kita ingin menyerah. Anda memiliki kemewahan sekaligus peluang untuk memanfaatkan jejaring profesional kesehatan di Tanoto Foundation. Yang lebih penting lagi, dengan adanya ajang berbagi pengalaman ini, kita akan memperoleh berbagai pengetahuan yang dapat berdampak baik bagi hidup kita dan orang-orang di sekeliling kita.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.