Belajar Jarak Jauh untuk Siswa yang Memiliki Keterbatasan Teknologi
Penghentian kegiatan sekolah membuat proses belajar mengajar harus dilangsungkan dengan jarak jauh. Untuk sebagian orang yang menikmati privilese berupa adanya gadget dan infrastruktur internet, belajar secara daring/online menjadi pilihan yang populer. Namun bagaimana dengan para murid yang tidak memiliki segala fasilitas tersebut? Tentunya mereka tetap berhak untuk mendapatkan pendidikan.
Hal itulah yang ditemui oleh Dedi Kurniawan, guru kelas IV SD Negeri 75/I Pasar Terusan, Kabupaten Batang Hari, Jambi. Ia menemukan bahwa sejumlah muridnya tidak memiliki gadget dan sambungan internet, sehingga ia berinisiatif untuk mendatangi murid-murid tersebut untuk memberi materi belajar, memberi tugas, memberi dukungan dan mengumpulkan tugas.
Dedi menceritakan, awalnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menginstruksikan sekolah libur tanggal 16-21 Maret 2020. Kemudian, penghentian kegiatan belajar tersebut diperpanjang hingga 30 Maret 2020. Menyertai instruksi tersebut, Dinas menganjurkan agar pembelajaran dilanjutkan dengan fasilitas internet alias daring/online.
Menanggapi instruksi tersebut, Dedi pun mulai mengumpulkan nomor ponsel orang tua murid untuk membentuk grup belajar di aplikasi WhatsApp. Dedi menemukan kenyataan bahwa cuma kurang dari separuh orang tua murid-muridnya yang memiliki ponsel pintar dan aplikasi WA. Dia menyadari bahwa ia tidak bisa memaksa orang tua murid untuk memiliki ponsel dan paket data.
“Pekerjaan mereka umumnya petani. Keadaan ekonomi juga sedang tidak menentu dan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja tidak menentu,” ujar Dedi kepada tim Tanoto Foundation.
Dari sana, Dedi berpikir bahwa kalau ia menyerah dengan keadaan, maka bisa-bisa banyak murid yang tidak belajar. Untuk itu, ia pun menyusun rencana untuk “jemput bola” dengan mendatangi rumah murid-muridnya tersebut.
Dedi memulai kegiatan tersebut pada tanggal 24 Maret. Ia mendatangi 5 rumah muridnya dengan membawa buku materi. Dedi kemudian meminta para murid untuk membaca 1 subtema selama tiga hari. Pada hari ketiga, Dedi mendatangi lagi rumah murid-muridnya tersebut untuk menanyakan kepada mereka tentang kesulitan yang dihadapi serta memberikan tugas dalam bentuk LKPD (Lembar Kerja Peserta Didik).
Siswa mendapatkan waktu tiga hari untuk mengerjakan LKPD. Pada hari keenam, Dedi kembali datang untuk mengumpulkan tugas para muridnya sekaligus menyerahkan lagi buku bacaan untuk dibaca. Siklus itu berulang setiap minggunya.
Para siswa Dedi membutuhkan waktu untuk bisa menyukai metode belajar tersebut. Dari yang awalnya murid-murid tersebut menanggapi dengan datar penugasan dari Dedi, perlahan mereka berubah antusias dan aktif bertanya kepada Dedi mengenai penugasan selanjutnya.
“Orang tua juga sangat mendukung kegiatan ini. Katanya daripada anaknya banyak bermain lebih baik diberikan tugas. Kalau diperintah orang tuanya di rumah mereka malas belajar, tapi kalau guru yang menugaskan anaknya mau mengerjakan,” kata Dedi.
Dedi, 41 tahun, menjadi guru sejak tahun 2011 dan baru mengajar di SDN 75/I Pasar Terusan sejak Februari 2020. Pada tahun 2011 ia mulai mengikuti pelatihan yang diselenggarakan Tanoto Foundation yang saat itu mengusung Program Pelita Pendidikan. Ia kemudian menjadi fasilitator lokal Pelita Pendidikan tahun 2014 dan menjadi fasilitator daerah Program PINTAR sejak 2018. Pria asli Batang Hari ini memiliki keinginan agar para pendidik di Indonesia tidak sekadar menjadi orang yang berdiri di depan kelas, membuka buku, menjelaskan, memberi tugas dan menilai. Dedi ingin guru menjadikan pembelajaran bermakna bagi setiap peserta didik.
—
Tanoto Foundation adalah organisasi filantropi keluarga independen yang didirikan oleh Sukanto Tanoto dan Tinah Bingei Tanoto pada tahun 1981.
Tinggalkan Balasan