“Teknologi Bukan Satu-Satunya Kunci!”: Membangun Kampung Kahuripan Berbasis Kearifan Lokal Bersama Sahabat Kahuripan
Kampung Kahuripan atau yang biasa juga disebut dengan Kuripan merupakan satu dari enam kampung yang berada di Desa Sukadamai Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kampung Kahuripan ini secara administratif meliputi dua wilayah Rukun Warga (RW) 5 dan 6 dengan jumlah penduduk pada tahun 2017 sebanyak 3.239 jiwa. Kampung Kahuripan berjarak sekitar 12 km dari Institut Pertanian Bogor (IPB) tepatnya dari lahan parkir sebuah bank pemerintah di samping IPB yang merupakan tempat saya dan teman-teman TSA (Tanoto Scholar Association) IPB berkumpul setiap akhir pekan untuk berkegiatan di Kampung Kahuripan. Kegiatan yang sering kami sebut dengan Bina Desa (bindes) ini saya lakukan kurang lebih 5 tahun lalu. Tapi, kenangan mengenai hari-hari itu masih lekat dalam ingatan saya hingga saat ini.
Di akhir pekan, saya bersama anggota TSA IPB lainnya pasti sudah saling berkomunikasi via grup line atau whatsapp untuk mempersiapkan keberangkatan ke Kampung Kahuripan. Di hari H, kami akan berkumpul di tempat biasa untuk saling menunggu. Karena tidak ada kendaraan umum menuju Kampung Kahuripan, kami akan menggunakan sepeda motor. Kami akan menghitung ketersediaan motor dan jumlah anggota yang akan berangkat. Jika jumlah anggota berlebih, maka seringnya kami menyewa motor harian atau angkot untuk menuju ke Kahuripan. Perjalanan akan memakan waktu sekitar 30 menit. Kami melewati wilayah pemukiman padat penduduk, sawah hingga perkebunan yang luas terhampar dengan jalanan yang berkelok serta naik turun karena dataran Desa Sukadamai yang lebih tinggi daripada dataran IPB Dramaga. Maka selama perjalanan itulah, kami, khususnya saya memanfaatkan waktu untuk menghirup nafas dalam, menjernihkan pikiran dan mengisi ulang energi setelah seminggu bergelut dengan aktivitas akademik dan organisasi di kampus.
Jalan-jalan kecil dengan banyak pohon bambu di sela rumah warga merupakan tanda kami sudah hampir sampai di Kampung Kahuripan. Kami akan berhenti di halaman rumah Pak Sake, Ketua RW 5 yang selama ini selalu dengan ramah mempersilakan sebagian ruang rumahnya untuk kami berkumpul sebelum memulai aktivitas. Istri beliau sering menyuguhkan makanan ringan hasil pertanian yang diolah sendiri bersama dengan ibu-ibu lainnya seperti keripik pisang, keripik ubi dan makanan ringan lainnya.
Kami segera beranjak menuju teras rumah warga yang berjarak beberapa rumah dari rumah Pak Sake. Di teras itulah, saya, teman-teman TSA dan anak-anak Kampung Kahuripan akan beraktivitas setiap akhir pekan. Teras itu yang akhirnya sering kita sebut dengan “Teras Baca”. Kami membagi anak-anak menjadi beberapa kelompok sesuai usia atau bangku sekolahnya. Biasanya ada sekitar 20-30 anak yang ikut serta dan berhasil membentuk 3-4 kelompok setiap berkegiatan. Kegiatan setiap minggu pasti beragam mulai dari mengulang pelajaran di sekolah, membantu mengerjakan pekerjaan rumah (PR), belajar membaca, menghitung, menggambar, mewarnai, belajar Bahasa Inggris bersama dan mendongeng. Kami juga mengadakan permainan-permainan di sela aktivitas belajar. Bahkan pernah juga kami mengadakan kegiatan berkebun bersama, menanam bibit sayuran, berjalanjalan keliling Kampus IPB dan berbagai kegiatan outdoor lainnya. Semua kegiatan itu diikuti anak-anak Kampung Kahuripan dengan sangat antusias. Bahkan tidak jarang, beberapa orang tua juga ikut duduk di Teras Baca untuk mendengarkan, melihat aktivitas anak-anaknya dan tertawa bersama. Acara yang paling ditunggutunggu adalah “Budak Kahuripan Day” yang merupakan satu hari dalam setahun yang dijadikan sebagai ajang penampilan anak-anak di Kampung Kahuripan. Anak-anak akan sangat bersemangat 2-3 bulan sebelumnya untuk mempersiapkan berbagai penampilan seperti bermain angklung, bernyanyi, menari, membaca puisi dan mini drama.
Dari hari-hari yang saya lewati bersama anak-anak di Kampung Kahuripan, saya merasakan bahwa mereka sangat menghargai dan menyambut baik keberadaan saya dan teman-teman TSA IPB lainnya. Bahkan, ketika Bulan Maret 2020 saya kembali mengunjungi rumah Pak Sake untuk keperluan penelitian, beliau masih mengingat saya dan seperti biasa menyambut kedatangan saya dengan penuh kehangatan. Lagi-lagi, beliau menyuguhkan keripik pisang buatan sendiri yang ketika saya pulang, satu toples keripik pisang itu juga diberikan kepada saya. Berkali-kali beliau ucapkan pada saya “Terima kasih ya Dek, anak-anak di sini jadi pada seneng baca”. Memang, saya ingat betul ketika waktu itu saya menginjakkan kaki pertama kali di Kampung Kahuripan untuk ikut serta kegiatan bina desa, saya masih menemukan anak-anak usia SD yang masih belum bisa membaca dan menghitung dan masih asing dengan teknologi meskipun hanya berupa telepon genggam.
Kehangatan penduduk Kampung Kahuripan adalah ‘mutiara’ bagi siapapun yang datang. Mereka tidak akan segan memberikan ruang rumahnya serta menyuguhkan berbagai makanan dan minuman. Mereka akan sangat antusias mengikuti serta menyimak betul hal-hal baru yang kami sampaikan. Hal ini tentu sangat mempermudah tugas para pekerja pembangunan pemerintah ataupun swasta yang datang. Namun, kehangatan dan antusiasme penduduk Kampung Kahuripan ini bisa menjadi sebuah awal dari permasalahan baru ketika program pembangunan yang datang tidak disesuaikan dengan budaya dan kebutuhan penduduk yang sebenarnya. Jika orientasi pembangunan hanya bertujuan untuk mengubah masyarakat 2.0 menjadi masyarakat 4.0, maka di masa yang akan datang, anak-anak yang baik hati dan polos ini akan memiliki kecanggihan teknologi tanpa diiringi dengan kematangan pola pikir dan kemahiran untuk menggunakan teknologi secara bijak. Oleh karena itu, setiap program baru yang direncanakan untuk pembangunan dan pengembangan Kampung Kahuripan harus didasarkan pada penyelesaian masalah, pemenuhan kebutuhan, budaya termasuk kearifan lokal penduduk Kampung Kahuripan yang masih dipegang teguh hingga saat ini.
Sebenarnya, sudah cukup banyak program dan bantuan datang ke Kampung Kahuripan baik dari pemerintah, swasta, lembaga sosial maupun kelompok mahasiswa. Beberapa contoh kegiatan seperti kegiatan bina desa yang teman-teman TSA lakukan, kegiatan pelatihan ibu-ibu dalam hal mengolah hasil pertanian (keripik pisang, ubi, singkong), pengemasan hingga pemasaran, serta pelatihan lainnya. Namun, kegiatan tersebut terhenti jika program pelatihan tersebut selesai. Berdasarkan kondisi tersebut, saya terpikir untuk membentuk komunitas ‘Sahabat Kahuripan’ yang berfungsi sebagai fasilitator dan pendamping penduduk dalam melaksanakan kegiatan atau program pembangunan. Sahabat Kahuripan akan memastikan setiap program yang masuk ke Kampung Kahuripan telah melalui analisis potensi dan masalah, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sesuai dengan budaya dan berlangsung secara keberlanjutan. Sahabat Kahuripan juga yang akan menjadi ‘jembatan’ antara penduduk lokal dengan stakeholders ketika memerlukan bantuan. Selain itu, Sahabat Kahuripan juga akan fokus pada aspek sumber daya manusia (SDM) sehingga seluruh program yang dilaksanakan selalu memberikan dampak berupa meningkatnya kapasitas SDM di Kampung Kahuripan. Dengan demikian, walaupun program telah selesai dilaksanakan, penduduk Kampung Kahuripan telah memiliki kemampuan dan keahlian untuk melakukan hal-hal yang dilatih secara mandiri sehingga akan terus berlanjut untuk dapat mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan oleh penduduk setempat.
Biodata Penulis
a. Nama Lengkap : Hanifah Firda Fauzia Gunadi
b. Email : hanigunadi@gmail.com
Tinggalkan Balasan