blog,

teladan

Jumat, 8 Maret 2019

ENTIKONG XPEDITION “MENGABDI HINGGA KE UJUNG NEGERI” Oleh Hidayatul Fitri

Rasa syukur terus terucap saat Tanoto Foundation memberikanku kepercayaan untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan pengabdian masyarakat yang bekerjasama dengan yayasan Beasiswa 10.000. Kegiatan ini sangat menarik karena dilakukan diperbatasan negeri antara Indonesia dan Malaysia yang bernama Entikong. Sesuai dengan nama daerahnya kegiatan ini di beri judul “Entikong Xpedition”.

View this post on Instagram

Entikong Xpedition Day 3! . Hari ke 3 anak-anak SD di Dusun Punti Engkaras, mereka kami ajarkan berbagai pelajaran SD di pagi hari, lagu2 anak dan pengetahuan kebangsaan. Lalu kami juga mengajarkan pembuatan prakarya dari stick ice cream lalu latihan upacara bendera. Karena selama mereka bersekolah tidak pernah sekalipun melaksanakan upacara mereka, bahkan mereka tidak tahu dan tidak mengerti. Tidak semua anak disana hafal lagu2 nasionalis, kami pula mengajarkan mereka disana.. Sore hari nya kami mengunjungi Pos Batas Lintas Negara Indonesia-Malaysia untuk berdiskusi dengan warga dan pemerintah disana. Kamipun berupaya dan berniat untuk bantu meng advokasikan kepada pemerintah daerah setempat terkait penambahan tenaga kerja guru di dusun tersebut yang hanya memiliki 1 guru untuk 3 kelas? (Baca postingan sebelumnya terkait keadaan adik2 kita di dusun punti engkaras). Malam hari nya kami berkumpul bersama warga dusun untuk menonton layar tancap (menggunakan proyektor yg beasiswa 10.000 bawa) untuk hiburan disana. Karena di dusun mereka sangat minim hiburan karena tidak adanya signal dan kualitas gambar TV yg buruk.. Alhamdulillah, setiap malamnya kami berhasil menciptakan kebahagiaan dan tawa untuk menghibur dan mengedukasi keluarga kita disana dengan cara yang menyenangkan? #DukungPendidikanUsungPerubahan #PengabdianMasyarakat #EntikongXpedition

A post shared by Beasiswa 10.000 | #Foundation (@beasiswa10000) on

Dusun Punti Engkaras merupakan dusun yang menjadi target kami selama satu minggu untuk mengabdi. Fokus kami adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan di dusun tersebut. 25 orang yang tergabung dalam misi ini terdiri dari berbagai daerah di Indonesia. Satu hal yang dapat aku pastikan, mereka semua adalah orang-orang hebat yang terpilih. Jiwa sosial, kepedulian, totalitas, loyalitas, ikhlas dan kekeluargaan adalah sifat yang ada pada diri mereka masing-masing yang sangat patut diberikan apresiasi. Hal ini dibuktikan dengan kerelaan mengorbankan waktu, tenaga, pikiran bahkan materi untuk mensukseskan rangkaian kegiatan Entikong Xpedition ini.

Setibanya di Pontianak ternyata kami harus menempuh perjalanan dengan bus selama 7 jam. Sepanjang perjalanan mungkin tidak banyak hal yang terlalu isitimewa. Namun, setelah memasuki jalan yang tidak beraspal kami harus menempuhnya dengan mobil truk milik TNI. Hati mulai tergugah dan bertanya-tanya mungkinkah ada kehidupan di dalamnya?. Jalan berbatu, berlumpur dan terjal harus dilewati sekitar 45 menit lamanya.

Sesampainya di dusun Punti Engkaras pegal dibadan akibat menahan hantaman-hantaman perjalanan yang penuh rintangan terasa mulai terbayarkan. Sore itu sekitar pukul 17.00 WIB warga sudah antusias menantikan kedatangan kami. Semua orang terlihat penasaran. Namun, anak-anak sangat terlihat suka cita. Lelahku terasa hilang melihat mereka yang penuh dengan keramahan. Hal unik yang kutemui lainnya adalah mereka pun sangat ramah dengan alam. Desa ini terasa sangat asri. Mampu hidup berdampingan dengan hewan seperti babi hutan, anjing dan ayam. Sejujurnya hal yang tidak pernah aku bayangkan selama ini adalah aku mampu hidup berdampingan dengan sekumpulan babi dengan tentram. Dusun ini semakin berkharisma menurutku.

Malam harinya kami mulai mengadakan pertemuan dengan kepala dusun. Kepala dusun merupakan salah satu orang yang dihormati. Namun aku cukup terkejut beliau tidak mampu berbahasa Indonesia dengan baik sehingga kami perlu menelaah maksud dari kalimat yang diucapkannya. Bahkan istrinya hanya bisa berbahasa dayak. Begitu kurangnya sentuhan globalisasi di dusun ini pikirku. Kedatangan kami pun sudah disambut dengan berbagai macam buah-buahan yang diambil langsung dari hutan. Tidak ada yang sengaja dibudidayakan sehingga buah yang kami makan pun terasa sangat istimewa.

View this post on Instagram

Entikong Xpedition Day 3! . Hari ke 3 anak-anak SD di Dusun Punti Engkaras, mereka kami ajarkan berbagai pelajaran SD di pagi hari, lagu2 anak dan pengetahuan kebangsaan. Lalu kami juga mengajarkan pembuatan prakarya dari stick ice cream lalu latihan upacara bendera. Karena selama mereka bersekolah tidak pernah sekalipun melaksanakan upacara mereka, bahkan mereka tidak tahu dan tidak mengerti. Tidak semua anak disana hafal lagu2 nasionalis, kami pula mengajarkan mereka disana.. Sore hari nya kami mengunjungi Pos Batas Lintas Negara Indonesia-Malaysia untuk berdiskusi dengan warga dan pemerintah disana. Kamipun berupaya dan berniat untuk bantu meng advokasikan kepada pemerintah daerah setempat terkait penambahan tenaga kerja guru di dusun tersebut yang hanya memiliki 1 guru untuk 3 kelas? (Baca postingan sebelumnya terkait keadaan adik2 kita di dusun punti engkaras). Malam hari nya kami berkumpul bersama warga dusun untuk menonton layar tancap (menggunakan proyektor yg beasiswa 10.000 bawa) untuk hiburan disana. Karena di dusun mereka sangat minim hiburan karena tidak adanya signal dan kualitas gambar TV yg buruk.. Alhamdulillah, setiap malamnya kami berhasil menciptakan kebahagiaan dan tawa untuk menghibur dan mengedukasi keluarga kita disana dengan cara yang menyenangkan? #DukungPendidikanUsungPerubahan #PengabdianMasyarakat #EntikongXpedition

A post shared by Beasiswa 10.000 | #Foundation (@beasiswa10000) on

Kegiatan demi kegiatan disekolah pun dimulai. Alangkah terkejutnya aku menyaksikan kondisi sekolah yang hanya ada siswa kelas 1-3 saja. Sedangkan untuk melanjutkan sekolah mulai kelas 4-6 harus menempuh perjalan hingga 1 jam lamanya dengan berjalan kaki. Tidak ada kendaraan atau angkutan yang dapat membantu mereka mempermudah akses menuju sekolah sehingga mereka sudah harus berangkat sekolah sedari pukul 5.30 WIB. Seragam dilipat rapi di dalam tas agar tidak kotor. Sepatu dijinjing agar tidak cepat rusak. Tamparan pertama dalam diri yang aku rasakan sangat menyayat hati.

Ibu Umi namanya. Beliau sudah mengabdikan diri bertahun-tahun lamanya untuk mengajar anak-anak dusun Punti Engkaras yang bersekolah dari kelas 1-3. Ternyata aku benar menyaksikan sebuah kenyataan bahwa 3 kelas harus diurus oleh 1 orang guru. Benar saja, murid-murid kelas 1 masih banyak yang buta huruf. Kelas 2-3 pun masih banyak sulit membaca dengan lancar. Bagamana mungkin desa ini bisa maju pikirku jika generasi yang menjadi harapan saja tidak sepenuhnya mendapatkan hak mereka di dunia pendidikan. Sebagaimana yang kita ketahui, meningkatnya mutu pendidikan di Indonesia akan berimbas kepada peningkatan sumber daya manusia yang lebih berkualitas sehingga mampu membantu peningkatan kesejahteraan di suatu daerah. Pantas saja, kesejahteraan di dusun Punti Engkaras masih tergolong rendah dengan keadaan pendidikan saat ini.

View this post on Instagram

-Mengabdi Hingga ke Ujung Negeri- Dusun Punti Engkaras merupakan suatu dusun yang berada di perbatasan negara Indonesia dengan Malaysia. Hasrat menggebu membawa semangat dan motivasi. Ternyata kehadiran kami tidak sekedar itu, mereka mengganggap kami merupakan suatu harapan. Harapan yang dapat membawa perubahan pada desa asri nan lekat dengan adat ini. Pendidikan, ya, pendidikan yang sebenarnya akan melahirkan harapan dan keyakinan baru. Harapan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Keyakinan untuk hidup lebih sejahtera. Sesungguhnya kita sadar bahwa dunia akan lebih baik jika diselimuti dengan orang yang berilmu karena akan tercipta moral dan etika yang saling bergandengan. Sadarkah? Medidik adalah tanggung jawab setiap orang yang terdidik. Berarti juga, anak-anak yang tidak terdidik adalah dosa setiap orang terdidik di Negara ini. Anak-anak Indonesia tidak berbeda. Mereka punya potensi yang sama. Mereka hanya dibedakan dengan keadaan. Keadaan dimana mereka sulit mendapatkan kesetaraan pendidikan. Keadaan dimana mereka sulit mendapatkan fasilitas yang mendukung. Keadaan dimana akses yang sulit dijangkau. Kehadiran kami selama 1 minggu dirasa sangatlah tidak cukup bagi mereka. Namun, kedatangan kami ini cukup memberikan tamparan diri. Keluhan demi keluhan kerap kali terucap saat menempuh proses pendidikan. Kini tersadar betapa hinanya diri yang tidak bersyukur atas apa yang telah di berikan Tuhan dibanding dengan keadaan anak-anak dusun Punti Engkaras saat ini. Sekolah jauh, guru tidak cukup dan fasilitas seadanya. Tidak disangka, air mata tidak hanya jatuh di pipi para anak-anak yang menjadi fokus kami. Ternyata air mata pun banyak jatuh di pipi para orang tua, pemuda, dan masyarakat lainnya saat melepas kepergian kami dari desa Punti Engkaras. semoga benar adanya bahwa kedatangan kami cukup memberikan secercah harapan dalam mendukung pendidikan sehingga dapat mengusung perbubahan. #TanotoScholars #TanotoFoundation #menjadiTELADAN #beasiswa10000 #dukungpendidikanusungperubahan #mengabdidenganhati #beranibergerakbeda #entikong #kalimantanbarat #kalimantan

A post shared by fitri (@hidayatul8fitri) on

Saat mengajar murid-murid di dusun ini terungkap satu fakta lagi yang membuat terkejut. Mereka tidak hafal lagu kebangsaan Indoensia Raya. Ternyata mereka tidak pernah sekali pun mengadakan upacara bendera di sekolah. Oleh karena itu, kami sepakat untuk mengadakan upacara bendera. Tiba di hari upacara berlangsung atmosfir yang tercipta sungguh haru membiru. Kurasakan begitu hening dan khidmatnya prosesi upacara. Terlebih lagi ketika bendera mulai dikibarkan. Indonesia Raya dikumandangkan. Air mata seluruh peserta upacara tidak terbendung lagi. Saat mengheningkan cipta terasa sangat sakral. Terbayang pahlwan-pahlawan yang dulu berjuang. Namun setelah 74 tahun merdeka dusun ini masih saja terasa terjajah oleh kesenjangan. Nasionalisme masih harus dipertanyakan. Tamparan diri kedua mulai aku rasakan.

Di sisi lain, siang hari sepulang sekolah hingga sore mereka yang kami suguhi beberapa buku bacaan sangat bersemangat untuk meminta diajarkan membaca. Meski masih terbata-bata tapi mereka terus membuka lembar demi lembar untuk dibaca. Setiap hari learning center yang kami usung tidak pernah sepi. Mereka tidak perlu disuruh untuk mengambil buku. Belajar mewarnai pun hingga lupa waktu. Niat awalku ingin memberikan semangat dan motivasi terasa tidak berlaku. Ku rasa kini akulah yang mulai tersemangati dan termotivasi karena mereka. Tamparan diri ketiga pun mulai menghampiri.

Setiap malam kami mengusung program menonton film-film perjuangan untuk memupuk jiwa nasionalisme seluruh lapisan warga dusun Punti Engkaras. Setiap malam pusat kegiatan ini tidak pernah sepi. Warga begitu antusias untuk menyaksikan film-film yang kami sajikan. Tidak jarang mereka terlalu cepat datang dan rela menunggu setiap malamnya. Sembari menonton beberapa warga yang datang tidak tangan kosong. Hasil kebun atau petikan buah dari hutan kerap kali mereka bawa dan berbagi dengan kami. Saat berbincang terbongkar lagi fakta bahwa selama ini mereka lebih sering menonton film-film Malaysia. Hati mulai terasa teriris kembali. Mereka seolah mudah dijangkau oleh Negeri seberang dan sulit dijangkau Negeri sendiri.

Selain itu, beberapa kegiatan yang dapat kami lakukan untuk pendekatan dengan warga yaitu olahraga bersama, berjalan-jalan mengitari dusun, mengunjungi ladang warga dan banyak lagi lainnya. Namun, saat aku memutuskan untuk ikut mengunjungi ladang warga disitulah ku lihat betapa memukaunya tanah surga Kalimantan Barat. Tidak hanya tanaman yang ditanam saja yang mampu tumbuh subur. Buah-buah tanpa ditanam dan dapat dikonsumsi warga pun sangat melimpah ruah. Pantas saja setiap hari kami selalu dapat kiriman buah-buahan dari warga. Air pun sangat jernih sehingga bisa langsung diminum dari sumber mata airnya. Segar dan melegakan untuk perjalanan yang cukup jauh, berlika-liku, naik turun dan bahkan perlu memanjat tebing-tebing. Anak-anak setia menemani perjalanan. Mengenalkan kami dengan beberapa tumbuhan unik yang bisa dimakan. Bahkan mereka pun seolah mejadi penjaga keselamatan selama perjalanan. Hati kami terasa sangat riang gembira melihat mereka selalu ceria dengan hiasan penuh tawa. Kulit mencoklat pun tidak lagi kami perhatikan.

View this post on Instagram

Entikong Xpedition Day 5! . Hari ke 5 pengabdian kami di Dusun Punti Engkaras sangatlah berkesan. Hari itu, adalah hari Jum'at, dimana untuk pertama kalinya UPACARA BENDERA dilakukan di SDN 04 Punti Tapau??? Suasana penuh haru dan tangis pecah pada saat selesai pelaksaan upacara (Educhangers bisa lihat cuplikan video nya di IG TV Beasiswa 10.000) . Seluruh Volunteer tak kuasa menahan haru pada saat seluruh siswa menangis bangga selepas upacara. Harapan kami, semoga upacara bendera dapat berlanjut dan dilaksanakan terus menerus setiap hari senin untuk semakin menumbuhkan jiwa nasionalisme mereka? . Setelah upacara selesai, seperti biasa Volunteers mengajarkan pelajaran dasar kepada adik2 di kelas 1, 2 dan 3. Siang harinya, gantian adik2 lah yang mengajak kakak2 Beasiswa 10.000 untuk bermain ke ladang dan memanjat tebing. Sungguh sebuah kegiatan sederhana yang sangat menyenangkan.. . Sore harinya, kami pulang ke dusun dan menyelenggarakan perhitungan Gizi Baik dan mengajarkan Pelatihan Hidup Bersih dan Sehat kepada nasyarakat di Balai Desa. Para ibu2 desa mengisi form gizi dan kami melakukan perhitungan gizi untuk mengetahui gizi baik/buruk dan membuat catatan kesahatan kepada mereka. Setelah selesai, kami membagikan susu gratis kepada anak2.. . Malam harinya, seperti biasa kami menghibur warga 1 dusun untuk menonton film nasionalisme yang diakhiri dengan karaokean bersama. Senangnya setiap lelah hari ditutup dengan senyum bahagia mereka. Ternyata sangat mudah untuk bahagia, hanya cukup membantu sesama dan memberikan yang terbaik se tulus yg kita bisa??? . Kira2 Educhangers ada yang sudah pengabdian masyarakaaat? Ke daerah mana dan hal apa yang telah kamu lakukan sehingga membuatmu bahagia? Comment dibawah yaaa??. . #Beasiswa10000 #EntikongXpedition #DukungPendidikanUsungPerubahan

A post shared by Beasiswa 10.000 | #Foundation (@beasiswa10000) on

Satu minggu berlalu tibalah waktunya kami untuk mengucapkan kata perpisahan. Warga turut serta dalam mempersiapkan konsep perpisahan. Mereka sangat antusian untuk membuatkan kami sebuah pesta perpisahan dengan menggunakan api unggun. Usut punya usut ternyata api unggun sangat spesial bagi mereka. Biasanya api unggun hanya ada saat perayaan malam tahun baru saja. Itu berarti biasanya hanya satu kali dalam setahun. Namun, kali ini mereka mau saling bahu membahu untuk merealisasikan acara ini. Para pemuda membantu mencarikan kayu di hutan. Panas teriknya matahari tidak menghalangi mereka untuk membantu kami. Anak-anak antusias berlatih untuk penampilan yang akan ditampilkan. Para tetua mempersiapkan untuk tradisi berdendang pantun.

Malam itu pun tiba. Penampilan anak-anak sangat ceria menyanyikan beberapa lagu dan gerakan yang kami ajarkan sambil mengibarkan bendera kecil di tangannya. Meski dengan pakaian seadanya mereka tampak sangat istimewa. Para pemuda pun tidak lupa untuk menyumbangkan suara emasnya menyanyikan lagu berlirik perpisahan. Kata sambutan demi kata sambutan selalu menyampaikan kesan dan pesan yang mendalam. Namun, ada satu momen yang sangat membuat batinku tersentak. Saat pemutaran video dokumenter kami selama seminggu yang berdurasi sekitar 7 menit kulihat berbagai sisi. Bukan hanya anak-anak yang menangis, tetapi orangtua dan para pemuda berbadan kekar pun menangis merasakan perpisahan yang akan terjadi diantara kami. Ketika bersalaman dengan semua lapisan masyarakat tidak jarang para orang tua yang mengucapkan terimakasih hingga menangis dan memeluk erat tubuh kami. Kini ku tahu, mereka benar- benar menganggap kami orang-orang yang diutus yang membawa harapan besar untuk dusun Punti Engkaras agar lebih baik lagi. Terlebih lagi harapan untuk anak-anak mereka agar dapat merubah nasib dan keadaan keluarganya.

Saat berpisah pun tiba. Pagi hari para warga sudah bersiap di depan rumah untuk melepaskan kepergian kami. Lagi-lagi mereka ingin kami bersalaman dengan mereka satu persatu. Doa-doa pun senantiasa mereka ucapkan untuk mengiringi kami. Ada satu hal yang aneh yang tidak aku temukan. Di hari minggu yang libur ini kemana perginya anak-anak yang biasa bermain dengan kami. Ku pikir mereka sibuk ke gereja karena mereka memang mayoritas beragama Kristen. Namun, setelah beberapa menit perjalanan menggunakan truk TNI ada beberapa anak yang berlari-lari mengejar truk yang kami tumpangi. Entah berapa jauh mereka berlari tanpa alas kaki dengan jalan bebatuan dan tak beraturan. Ku lihat dengan jelas ketidakrelaan mereka melepas kami pergi. Tapi apalah daya kami hanya mampu mengabdi tidak lebih dari 7 hari. Semoga dikemudian hari kami atau siapapun dapat hadir kembali ke dusun Punti Engkaras dan membawa harapan baru bagi para penghuni. Salam kami untuk para pengabdi negeri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

AUTHOR

Digital Team