Pencegahan Stunting di Indonesia: Strategi, Kemauan dan Upaya Kolektif
Oleh: Belinda Tanoto*
Masalah nyata pada stunting bukanlah badan yang pendek, tetapi pengaruhnya terhadap kemampuan otak. Stunting, sebagaimana didefinisikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak akibat dari gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. Seorang anak dianggap kerdil jika tinggi badannya berada 2 standar deviasi di bawah median Standar Pertumbuhan Anak WHO.
Berbagai penelitian menemukan bahwa kekurangan gizi dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)– mulai saat kehamilan hingga anak berusia dua tahun – mengganggu perkembangan otak yang efeknya tidak bisa diperbaiki. Otak anak-anak yang stunting tidak berkembang dengan baik dan gangguan kognitif akan terlihat bila otak anak dipindai. Tidak mengherankan bila anak-anak stunting menderita ketidakmampuan belajar dan lebih cenderung putus sekolah.
Akibat stunting berasa langsung sekaligus seumur hidup. Selain mengalami penurunan fungsi kognitif dan keterlambatan perkembangan motorik, anak-anak yang stunting berisiko mengalami lebih banyak masalah kesehatan di masa dewasa, dan perempuan yang stunting akan melahirkan bayi yang lebih kecil, seringkali melanggengkan lingkaran setan kemiskinan.
Ada banyak bukti bahwa intervensi dini mendatangkan hasil. Setiap 1 dolar AS (sekitar Rp14.000) yang digunakan untuk mengurangi stunting di Indonesia akan mendatangkan pengembalian ekonomi senilai 48 dolar AS (sekitar Rp672.000). Mewujudkan potensi seseorang bisa dilakukan dengan pendekatan yang tepat.
Pendekatan Menyeluruh dari Pemerintah
Indonesia termasuk di antara lima negara dengan jumlah kasus stunting tertinggi di dunia. Meski tingkat stunting telah berkurang dari 37,2% pada 2013 menjadi 27,7% pada 2019, namun satu dari empat anak masih stunting dan tidak dapat mewujudkan potensi mereka.
Kualitas hasil sumber daya manusia Indonesia bervariasi secara geografis dan sosial. Sebagai contoh, angka kematian anak balita di daerah pedesaan yang tidak tercakup jaringan listrik besarnya dua kali lipat dari di perkotaan.
Melihat data mengenai pelayanan di Indonesia juga menunjukkan bahwa setiap program (seperti suplementasi asam folat dan nutrisi mikro selama kehamilan, atau akses ke air bersih dan sanitasi) memiliki tingkat cakupan yang cukup baik. Alasan stunting tetap tinggi adalah karena jutaan rumah tangga tidak mendapatkan pelayanan yang lengkap dalam 1.000 HPK.
Pada 2017, Pemerintah meluncurkan Strategi Nasional untuk Percepatan Pencegahan Stunting (StraNas Stunting), berkomitmen untuk menginvesasikan $14,6 miliar dolar AS selama empat tahun untuk menyatukan layanan prioritas di 514 kabupaten. StraNas Stunting mengadopsi pendekatan menyeluruh, melibatkan 22 kementerian; yang mencakup kesehatan, pendidikan dan pengembangan anak usia dini (PAUD), air, sanitasi dan kebersihan, keamanan pangan, serta insentif perlindungan sosial – dan menyelaraskan berbagai lapisan pemerintahan. Mewujudkan program ini dalam skala besar di Indonesia yang sangat terdesentralisasi berarti menjangkau 24 juta rumah tangga di 75.000 desa. Hal ini membutuhkan perencanaan dan penganggaran yang cermat di tingkat kabupaten dan desa.
Bagian penting dari program pengurangan stunting pemerintah adalah pengenalan Kader Pembangunan Manusia (KPM). Ada lebih dari 72.000 KPM yang bekerja di 416 kabupaten. Mereka adalah pekerja berbasis masyarakat dengan tiga fungsi: mendukung desa untuk mengidentifikasi semua rumah tangga yang membutuhkan perhatian pada 1.000 HPK, menilai akses desa ke penggunaan layanan prioritas StraNas Stunting, dan memantau serta melaporkan pemanfaatan layanan prioritas melalui kartu konvergensi desa. Penilaian pada kartu ini ini kemudian dikaitkan dengan transfer keuangan langsung ke desa-desa.
Kolaborasi dan Kemitraan
StraNas Stunting adalah langkah penting untuk memastikan semua rumah tangga yang memiliki ibu hamil atau anak di bawah dua memiliki akses ke pelayanan penting yang lengkap untuk mengurangi stunting. Namun, pemerintah tidak dapat melakukan semua ini sendirian. Saya menyoroti tiga peluang dan contoh kolaborasi.
Komunikasi Perubahan Perilaku
Untuk mencegah stunting, ibu harus didorong untuk memberi ASI secara eksklusif sampai bayi mereka berusia enam bulan. Namun, di Indonesia, hanya satu dari dua bayi di bawah enam bulan yang diberi ASI eksklusif. Mengubah perilaku orang tua tidak hanya membutuhkan akses yang lebih baik ke pelayanan, tetapi di sisi lain juga membutuhkan peningkatan kesadaran dan pengetahuan. Perubahan perilaku ini hanya dapat dicapai melalui strategi komunikasi perubahan perilaku multi-sektoral, yang mencakup advokasi, komunikasi antarmanusia, mobilisasi masyarakat, media massa, dan penggunaan data secara strategis.
Kewirausahaan Sosial
Seorang individu dapat menjadi penggerak yang tangguh. Contohnya adalah Du Anyam. Bekerja sama dengan perempuan-perempuan berbakat di Flores, Nusa Tenggara Timur, Du Anyam memproduksi produk-produk rotan yang dijual di seluruh Indonesia. Keuntungan dari penjualan ini kemudian digunakan untuk mendidik perempuan tentang pentingnya nutrisi serta menyediakan makanan bergizi tambahan bagi para penenun dan anak-anak mereka.
Kemitraan Publik-Swasta
Program nasional dengan skala dan ambisi sebesar StrasNas harus dibarengi dengan dukungan dalam implementasi dan pendekatan berbasis data untuk koreksi bila ada yang keliru. Untuk mempercepat proses ini, berbagai organisasi filantropi yang sepemikiran seperti Tanoto Foundation dan Bill & Melinda Gates Foundation menjalin kerja sama dengan Bank Dunia untuk meluncurkan Multi Donor Trust Fund (MDTF) untuk Akselerasi Sumber Manusia Indonesia (IHCA). Dana perwaklian ini diinvestasikan dalam inovasi dan berbagi pembelajaran yang bisa diperbesar (scaled up) ke tingkat nasional, mendukung dilakukannya analisis yang relevan dengan kebijakan, dan melakukan peningkatan kapasitas dan menyediakan bantuan teknis kepada pemerintah.
Bekerja dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa), dana perwalian ini akan sangat membantu program KPM dengan membangun aplikasi yang akan membantu KPM melacak penugasan, merekam data pemantauan, dan menyusun laporan dengan mudah. Dana perwalian ini juga bekerja sama dengan Kantor Wakil Presiden dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) untuk mengevaluasi dampak StaNas Stunting menggunakan strategi bauran. Termasuk di antaranya adalah pengukuran stunting setiap tahun, mempercepat pembelajaran dan identifikasi praktik baik pengasuhan dari seluruh Indonesia dan berinvestasi dalam eksperimen perubahan perilaku seperti promosi inisiasi menyusui dini.
Kerja Bersama
Stunting adalah masalah multidimensi, tetapi jika Afghanistan dan Bangladesh bisa mencapai kemajuan signifikan, seharusnya Indonesia juga bisa. Selama beberapa tahun terakhir, kita telah mencapai kemajuan yang menjanjikan. Tetapi kita dapat dan harus melakukan lebih banyak lagi, menjadikan setiap tonggak capaian sebagai batu loncatan untuk mencapai tujuan nasional kita. Pada tahun 2019, Presiden Joko Widodo menegaskan kembali komitmen pemerintahannya untuk mengatasi stunting dan meningkatkan sumber daya manusia Indonesia.
Perjalanan pengembangan sumber daya manusia adalah perjalanan kolektif. Memberantas stunting menuntut kolaborasi dan pemikiran jangka panjang. Dengan kerja sama, kita bisa mencapai dampak yang diinginkan dengan skala yang lebih besar. Di Indonesia, kita sudah memiliki kemauan politik dan punya strategi tingkat nasional; yang masih harus dilakukan adalah kita semua harus menyingsingkan lengan baju kita dan mengerjakan apa yang menjadi bagian kita.
Tanoto Foundation adalah organisasi filantropi keluarga independen yang didirikan oleh Sukanto Tanoto dan Tinah Bingei Tanoto pada tahun 1981. Belinda Tanoto adalah anggota Board of Trustees Tanoto Foundation, di mana ia berperan aktif dalam menyusun strategi dan program dalam pengentasan kemiskinan dan pengembangan sumber daya manusia.
Artikel ini diterjemahkan dari artikel asli berjudul Stunting prevention in Indonesia: Strategy, will and collective effort yang diterbitkan di The Jakarta Post.
Tinggalkan Balasan