Jumat, 18 September 2015

Berawal dari Terpaksa, Tumbuh Menjadi Cinta

Ibu Tri Harjanti dan keluarga.


Menjadi pendidik bukanlah cita-cita Tri Harjanti. Namun, keputusannya untuk mengikuti program transmigrasi membawanya ke tanah Sumatera dan menjadi guru di SDN 201/VII Pinang Belai, Jambi. Kini ia sangat menikmati pekerjaannya tersebut.

Tri Harjanti lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 24 Desember 1972. Di Kota Budaya ini, Tri menamatkan pendidikan hingga jenjang SMK. Setelah lulus, Tri bekerja di sebuah gerai foto kopi. Di kota ini pula, Tri bertemu dengan tambatan hatinya dan menikah pada 1992.

Bekerja sebagai karyawan perusahaan kecil, ditambah penghasilan suami sebagai pencatat meter PLN membuat Tri harus hidup sederhana. Penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Akibatnya, cita-citanya untuk memiliki rumah harus ia pendam dalam-dalam.

Pada 1996, Tri dan suaminya serta anak mereka yang baru berumur dua tahun berangkat ke Tebo, Jambi untuk mengikuti program transmigrasi. Awalnya ia shock dengan suasana baru di perantauan tersebut.

“Saya belum pernah melihat sungai Batanghari yang selebar itu. Dalam hati saya berkata, bisa tidak saya pulang ke Jawa lagi,” ujar Tri. “Ditambah lagi, lingkungan benar-benar masih berantakan. Pohon-pohon hasil pembukaan lahan masih berserakan. Suasana benar-benar sepi. Saya ingin nangis saja rasanya.”

Tahun-tahun pertama di perantauan merupakan masa yang berat bagi Tri. Di tempat baru ini jauh dari kota dan pasar, juga tidak ada sekolah. Ia prihatin melihat anak-anak yang seharusnya bersekolah tetapi tidak tahu harus belajar dimana.

Pada 1997, Tri ditawari untuk mengajar anak-anak tersebut. Tentunya, ia mengajar dengan caranya sendiri. Sebagai tempat belajar, ia memanfaatkan balai desa dan rumah-rumah penduduk.

“Awalnya saya tidak tahu harus mengajar apa. Saya ini lulusan SMK yang tahunya soal administrasi keuangan. Jadi saya mengingat-ingat apa yang saya peroleh waktu di SD dulu, dan itulah yang saya ajarkan,” kata Tri.

Perjalanan Tri Harjanti dalam mendidik anak-anak di pelosok Jambi penuh tantangan dan hambatan. Baca kisah selanjutnya di bagian kedua tulisan ini minggu depan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Comments